Bismillah~
Assalamu’alakum warohmatullahi wabarokatuh~
Konsumsi? Mungkin mewarnai kehidupan rakyat Indonesia. Tidak jauh dari ingatan kita, pendidikan dasar (SD atau setara) dengan bahasan “Bahasa Indonesia” kita selalu diwarnai dengan kata-kata konsumtif. Budi membeli mangga, budi membeli meja, budi membeli nanas, budi membeli rumah. Mungkin karena itu jugalah, doktrinase konsumsi merasuk dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia. Iya toh?
Coba liat, di sekitar kita sajalah, konsumen (tuhkan konsumtif) saat memasuki gerai, toko, pasar, atau mall merasa (hanya merasa) “bangga” jika membawa belanjaan keluar darinya. Coba tengok GDP Indonesia (for example), konsumsilah elemen yang mendominasi GDP kita.
Tapi, apakah Islam (dengan syummuliahnya) memandang ini sebagai hal yang tabu? Apakah konsumsi dalam
Islam merupakan hal yang dilarang atau disarankan? Apakah ada batasan dalam
berkonsumsi? Apakah konsumsi berkaitan erat dengan kebutuhan (keinginan)? Apa
saja faktor-faktor penentu berkonsumsi? Let’s
check it out~
Konsumsi? Mungkin mewarnai kehidupan rakyat Indonesia. Tidak jauh dari ingatan kita, pendidikan dasar (SD atau setara) dengan bahasan “Bahasa Indonesia” kita selalu diwarnai dengan kata-kata konsumtif. Budi membeli mangga, budi membeli meja, budi membeli nanas, budi membeli rumah. Mungkin karena itu jugalah, doktrinase konsumsi merasuk dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia. Iya toh?
Coba liat, di sekitar kita sajalah, konsumen (tuhkan konsumtif) saat memasuki gerai, toko, pasar, atau mall merasa (hanya merasa) “bangga” jika membawa belanjaan keluar darinya. Coba tengok GDP Indonesia (for example), konsumsilah elemen yang mendominasi GDP kita.
Tingkat Utilitas |
KONSUMSI ISLAM (Teori)
Apakah teman tau? Ternyata kita sebagai khalifah di muka bumi telah banyak mengambil keputusan-keputusa. Bagaimana tidak? Ada banyak komoditi atau jasa (jutaan) dengan segala ragam macamnya, tapi kita telah banyak memilih dan memutuskan, komoditi atau (dan) jasa apa saja yang kita konsumsi.
Konsumsi menyebabkan kepuasan (utility) yang dalam islam berubah persepsi menjadi kesejahteraan. Meraih tingkat utilitas yang maksimal adalah hakikat manusia. Imam Al-Ghazali r.a. ternyata telah mampu merumuskan hal ini dengan sangat bijak. Bagaimana mengenai kesejahteraan, bagaimana mengenai memaksimalkan fungsi kesejahteraan, telah dirmuskannnya sekitar 500 tahun setelah hijrahnya Rasulullah.
Imam Al-Ghazali r.a., ulama kelahiran 450H/1058M yang telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran dunia Islam. Salah satu bahasannya yang sangat fenomenal adalah konsep maslahat yang dalam dunia Islam disebut kesejahteraan sosial atau utility (kebaikan bersama). Dalam bahasan ini, sang Imam telah sangat berani mengungkapkan fungsi kesejahteraan sosial, mengelompokkan masalah dalam pemenuhannya yaitu masalih wal mafasid (manfaat dan kerusakannya), dan mendefinisikan kebutuhan individu dan sosial.
Menurut Sang Imam, kesejahteraan masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan maqashid syariah. Apakah itu coy? This is it~
- Ad-Diin; agama
- An-Nasl; keluarga dan (atau) keturunan
- An-Nafs; jiwa
- Al-Aql; akal
- Al-Maal; harta kekayaan
“Kebaikan dunia dan akhirat merupakan tujuan utamanya” adalah tuturan utama beliau mengenai kesejahteraan ini. Al-Ghazali juga mendefinisikan aspek kesejahteraan dengan tiga kerangka:
- Kebutuhan (daruriat). Kunci maqashid syariah terletak pada kerangka pertama ini yaitu (contoh kongkrit) SPP (sandang, pangan, dan papan). Yahh, menyesuaikanlah di mana waktu dan tempatnya.
- Kesenangan atau kenyamanan (hajaat). Yahh, kalau ini, terdiri dari kebutuhan yang menghilangkan rintangan dan kesulitan dalam hidup. Banyaklah~ Contoh: mahasiswa yang butuh motor karena jarak kampus dari rumahnya 120 km. Riil kan ??
- Kemewahan (tahsinaat). Kalau ini, barang-barang komplementer aja. Mahasiswa bermewah-mewahan dengan mobil Mercedes adalah contoh paling pas (emang ada?).
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.S. At-Taubah 9:91
Sungguh disayangkan jika seorang muslim sejati (lagi keren) mempunyai udzur dalam berjihad yang menghalanginya terjun langsung ke dalamnya. Apalagi dalam perkara-perkara duniawi, lebih khusus ekonomi, terkhusus masalah harta.
Juga sebagai tambahan,
perkembangan ekonomi dalam masyarakat, menurut Sang Imam, merupakan kewajiban
sosial (fard kifayah) yang menjadi sunnatullah. Jadi, kalau tidak
terpenuhi, maka kehidupan di dunia juga akan runtuh, bahkan kemanusiaan akan
binasa.
Ada tiga alasan mengapa seseorang
melakukan aktivitas ekonomi dan oleh karenanya, jika meninggalkannya, maka
dianggap menyalahi agama loh. Ini dia alasannya:
- Mencukupi kebutuhan hidup
- Mensejahterakan keluarga
- Membantu memenuhi kebutuhan orang lain
Hakikat manusia adalah
memaksimalkan utilitas, dan Imam Al-Ghazali tidak memandang hal ini sebagai
sesuatu yang terkutuk dan pantas dikutuk. Hal ini dilatarbelakangi keinginan
untuk persiapan masa depan.
Cumaannn~ Ada cumannya bos. Cuman, jika semangat selalu ingin lebih, keserakahan, dan pemenuhan
nafsu berlebihan mengotori kemurnian hakikat utilitas, maka hal ini pantas dikutuk. Pantas dikutuk!
Waspadalah! Waspadalah ! Waspadalah kapitalis!
Oke~ Untuk pembahasan konsumsi islam, kita batasi sampai sini dulu. InsyaAllah akan ada Part II dan Part III. Ana mau belajar-belajar lagi. Hehe~
To be continued~ Part II
To be continued~ Part II
0 komentar:
Posting Komentar