Kumpulan Ikhtisar

Jumat, 20 Juli 2012

Konsumsi Islam Part I

Bismillah~
Assalamu’alakum warohmatullahi wabarokatuh~


Konsumsi? Mungkin mewarnai kehidupan rakyat Indonesia. Tidak jauh dari ingatan kita, pendidikan dasar (SD atau setara) dengan bahasan “Bahasa Indonesia” kita selalu diwarnai dengan kata-kata konsumtif. Budi membeli mangga, budi membeli meja, budi membeli nanas, budi membeli rumah. Mungkin karena itu jugalah, doktrinase konsumsi merasuk dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia. Iya toh?


Coba liat, di sekitar kita sajalah, konsumen (tuhkan konsumtif) saat memasuki gerai, toko, pasar, atau mall merasa (hanya merasa) “bangga” jika membawa belanjaan keluar darinya. Coba tengok GDP Indonesia (for example), konsumsilah elemen yang mendominasi GDP kita.


Tingkat Utilitas
Tapi, apakah Islam (dengan syummuliahnya) memandang ini sebagai hal yang tabu? Apakah konsumsi dalam Islam merupakan hal yang dilarang atau disarankan? Apakah ada batasan dalam berkonsumsi? Apakah konsumsi berkaitan erat dengan kebutuhan (keinginan)? Apa saja faktor-faktor penentu berkonsumsi? Let’s check it out~



KONSUMSI ISLAM (Teori)


Apakah teman tau? Ternyata kita sebagai khalifah di muka bumi telah banyak mengambil keputusan-keputusa. Bagaimana tidak? Ada banyak komoditi atau jasa (jutaan) dengan segala ragam macamnya, tapi kita telah banyak memilih dan memutuskan, komoditi atau (dan) jasa apa saja yang kita konsumsi.


Konsumsi menyebabkan kepuasan (utility) yang dalam islam berubah persepsi menjadi kesejahteraan. Meraih tingkat utilitas yang maksimal adalah hakikat manusia. Imam Al-Ghazali r.a. ternyata telah mampu merumuskan hal ini dengan sangat bijak. Bagaimana mengenai kesejahteraan, bagaimana mengenai memaksimalkan fungsi kesejahteraan, telah dirmuskannnya sekitar 500 tahun setelah hijrahnya Rasulullah.



Imam Al-Ghazali r.a., ulama kelahiran 450H/1058M yang telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran dunia Islam. Salah satu bahasannya yang sangat fenomenal adalah konsep maslahat yang dalam dunia Islam disebut kesejahteraan sosial atau utility (kebaikan bersama). Dalam bahasan ini, sang Imam telah sangat berani mengungkapkan fungsi kesejahteraan sosial, mengelompokkan masalah dalam pemenuhannya yaitu masalih wal mafasid (manfaat dan kerusakannya), dan mendefinisikan kebutuhan individu dan sosial.


Menurut Sang Imam, kesejahteraan masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan maqashid syariah. Apakah itu coy? This is it~

  1. Ad-Diin; agama
  2. An-Nasl; keluarga dan (atau) keturunan
  3. An-Nafs; jiwa
  4. Al-Aql; akal
  5. Al-Maal; harta kekayaan

“Kebaikan dunia dan akhirat merupakan tujuan utamanya” adalah tuturan utama beliau mengenai kesejahteraan ini. Al-Ghazali juga mendefinisikan aspek kesejahteraan dengan tiga kerangka:

  1. Kebutuhan (daruriat). Kunci maqashid syariah terletak pada kerangka pertama ini yaitu (contoh kongkrit) SPP (sandang, pangan, dan papan). Yahh, menyesuaikanlah di mana waktu dan tempatnya.
  2. Kesenangan atau kenyamanan (hajaat). Yahh, kalau ini, terdiri dari kebutuhan yang menghilangkan rintangan dan kesulitan dalam hidup. Banyaklah~ Contoh: mahasiswa yang butuh motor karena jarak kampus dari rumahnya 120 km. Riil kan ??
  3. Kemewahan (tahsinaat). Kalau ini, barang-barang komplementer aja. Mahasiswa bermewah-mewahan dengan mobil Mercedes adalah contoh paling pas (emang ada?).
Keselamatan adalah tujuan akhir. Akan tetapi meninggalkan kewajiban-kewajiban dunia (mata pencaharian) dalam bidang ekonomi tidak dapat dhilangkan, bahkan menjadi aktivitas ibadah yang merupakan panggilan dari seseorangloh. Tentu saja aktivitas ekonomi yang dimaksud yaitu aktivitas ekonomi yang sejalan dengan aturan Allah. Karena, seorang dituntut untuk memenuhi kebutuhannnya juga untuk memenuhi tugas keagamaan dan pengembangandirinya. So~ jangan duduk aja di rumah atau di mesjid (konteks banget sih).
Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.S. At-Taubah 9:91
Sungguh disayangkan jika seorang muslim sejati (lagi keren) mempunyai udzur dalam berjihad yang menghalanginya terjun langsung ke dalamnya. Apalagi dalam perkara-perkara duniawi, lebih khusus ekonomi, terkhusus masalah harta.

Juga sebagai tambahan, perkembangan ekonomi dalam masyarakat, menurut Sang Imam, merupakan kewajiban sosial (fard kifayah) yang menjadi sunnatullah. Jadi, kalau tidak terpenuhi, maka kehidupan di dunia juga akan runtuh, bahkan kemanusiaan akan binasa.

Ada tiga alasan mengapa seseorang melakukan aktivitas ekonomi dan oleh karenanya, jika meninggalkannya, maka dianggap menyalahi agama loh. Ini dia alasannya:
  1. Mencukupi kebutuhan hidup
  2. Mensejahterakan keluarga
  3. Membantu memenuhi kebutuhan orang lain
Jelas? InsyaAllah~ InsyaAllah~ Semoga Allah terus-menerus menerangi hati dan akal kita. Semoga jua Allah senantiasa melimpahkan hidayah agar senantiasa berpikir ilmiah berlandaskan Kalam Allah dan Sunnah Rasulullah. Amin~

Hakikat manusia adalah memaksimalkan utilitas, dan Imam Al-Ghazali tidak memandang hal ini sebagai sesuatu yang terkutuk dan pantas dikutuk. Hal ini dilatarbelakangi keinginan untuk persiapan masa depan.

Cumaannn~ Ada cumannya bos. Cuman, jika semangat selalu ingin lebih, keserakahan, dan pemenuhan nafsu berlebihan mengotori kemurnian hakikat utilitas, maka hal ini pantas dikutuk. Pantas dikutuk! Waspadalah! Waspadalah ! Waspadalah kapitalis!

Oke~ Untuk pembahasan konsumsi islam, kita batasi sampai sini dulu. InsyaAllah akan ada Part II dan Part III. Ana mau belajar-belajar lagi. Hehe~

To be continued~ Part II